Kamis, 08 Mei 2014

Model Pembelajaran Konstruktivisme




Prinsip yang paling umum dan paling esensial yang dapat diturunkan dari konstruktivisme, ialah bahwa anak-anak memperoleh banyak pengetahuan di luar sekolah, dan pendidikan seharusnya memperhatikan hal itu dan melaksanakan proses alamiah ini. Untuk dapat melaksanakan proses pembelajaran semacam ini, dibawah ini disarankan beberapa prinsip mengajarkan sains di sekolah dasar (Kamii, 1979). Untuk tingkat sekolah yang lebih tinggi, akan diberikan pula suatu strategi mengajar yang akan dibahas dibagian lain. Model Konstruktivisme yang dikemukakan Piaget ini memberi arahan kepada guru untuk membangkitkan kemampuan berpikir anak dalam belajar, adapun prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan menurut Piaget adalah hal-hal berikut ini.
1)      Menyiapkan Benda-benda Nyata untuk Digunakan Peserta didik
Ada dua alasan bagi prinsip ini, yaitu pengetahuan fisik diperoleh dengan berbuat pada benda-benda, dan melihat bagaimana benda-benda itu bereaksi. Misalnya, untuk mengetahui apakah sebuah bola yang dibuat dari tanah liat dapat terapung dalam tanah, anak itu harus berbuat sesuatu pada benda-benda itu dan memperoleh jawaban dari benda-benda itu. Sambil ia mengubah-ubah perbuatan atau tindakannya, ia menghubungkan perubahan-perubahan dalam perbuatannya dan perubahan-perubahan dalam reaksi benda-benda itu. Bukan hanya mengetahui fisik yang dikembangkannya, melainkan juga pengetahuan logiko-matematik. Alasan yang kedua para peserta didik harus bekerja dengan benda-benda ialah, bahwa inilah satu-satunya cara mereka dapat menglogika-Matematika kenyataan. Buka dengan cara belajar kata-kata, para peserta didik menjadi lebih baik berpikir mengenai alam nyata.
2)      Memperbaiki Empat Cara Berbuat Terhadap Benda Benda
Ada empat cara berbuat terhadap benda-benda yaitu: (1) berbuat terhadap benda-benda dan melihat bagaimana benda-benda itu beraksi, (2) berbuat terhadap benda-benda untuk menghasilkan suatu efek yang diinginkan, (3) menjadi sadar bagaimana seorang menghasilkan efek yang diinginkan, dan (4) menjelaskan. Mengenai pendekatan ketiga Piaget menemukan, bahwa disekitar umur 4 atau 5 tahun, anak-anak dapat melakukan banyak hal pada tingkat inteligensi praktis, tetapi mereka tidak menyadari bagaimana menghasilkan sesuatu yang diinginkan itu. Cara yang keempat dapat berupa penjelasan langsung dari suatu peristiwa, atau berupa menguji suatu hipotesis secara sistematis. Bila dipusatkan hanya untuk pada penjelasan-penjelasan, adanya bahaya karena kerap kali timbul verbalisme.
Bila digunakan dua pendekatan yang pertama, para peserta didik dapat diminta menjelaskan apa yang menyebabkan mereka berpikir. Dalam pelajaran “Terapung, melayang, dan tenggela”, misalnya waktu mereka disuruh membuat “Kapal-kapal dari tanah liat”, guru menggunakan pendekatan kedua, bila ia meminta para peserta didik untuk membuat kapal tanah liat yang dapat terapung dalam air. Kemudian, bila guru bertanya apa yang akan terjadi bila peserta didik menempatkan benda-benda dalam kapal tanah liat itu, maka guru menggunakan pendekatan yang pertama. Kedua pendekatan ini dan juga pendekatan yang ketiga, mengandung unsur penjelasan dan pada umumnya lebih baik dari pada gambar menjelaskan, yang bagaimanapun juga sulit bagi  para peserta didik dalam periode-periode konkret. Pendekatan yang ketiga, yaitu menjadi sadar bagaimana seseorang menghasilkan efek yang diinginkan, dapat digunakan bila guru menganjurkan peserta didik untuk bertanya pada peserta didik yang lain bagaimana ia menyelesaikan tugasnya. Ini merupakan suatu contoh situasi yang secara eduktif, baik bagi peserta didik yang mengajarkan dan bagi peserta didik yang diajari.
3)      Memperkenalkan Kegiatan
Kegiatan-kegiatan itu mungkin menarik bagi para peserta didik, tetapi jangan dipaksakan pada mereka. Para peserta didik hendaknya mempunyai kebebasan untuk mengikuti perhatian mereka sendiri, oleh keran pikiran itu hanya akan dapat berkembang bila peserta didik itu terlihat, berilah para peserta didik kebebasan untuk menolak saran-saran guru.
Karena itu menurut Susan Isscans (1946) kerangka ini merupakan koreksi terhadap ide bahwa seorang peserta didik akan pernah belajar jika ia tidak dibentak atau dipukul, juga bagi gagasan bahwa peserta didik tidak membutuhkan belajar, namun hanya perlu menunjukkan kebaikannya. Kegiatan utama pembelajaran menurut Susan Isscans adalah memberikan suatu kerangka kerja yang kokoh untuk kegiatan pembelajara, karena perkembangan intelektual peserta didik berhubungan erat dengan perkembangan emosional. Oleh karena itu kebebasan diruang kelas akan menghilangkan hambatan proses belajar atau distorsi perkembangan watak dari peserta didik.
4)      Menciptakan Pertanyaan, Masalah-masalah dan Pemecahannya
Dewasa ini para pendidik kerap kali menganjurkan “Pemecah masalah” tetapi jarang kita dengar tentang pentingnya penciptaan masalah-masalah dan pengajuan pertanyaan-pertanyaan. Selain para peserta didik mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan atau memecahkan masalah-masalah mereka, mereka juga termotivasi untuk bekerja keras. Menurut Piaget, perumusan pertanyaan-pertanyaan merupakan salah satu dari bagian-bagian yang paling penting dan paling kreatif dari sains yang diabaikan dalam pendidikan sains.
5)      Peserta didik Saling Berinteraksi
Menurut Piaget, pertukaran gagasan-gagasan tidak dapat dihindari untuk perkembangan penalaran. Walaupun penalaran tidak dapat dijadikan secara langsung, perkembangannya dapat distimulasi oleh konfrontasi kritis, khususnya dengan teman-teman setingkat. Seperti halnya perbedaan pendapat itu esensial untuk konstniksi sains, demikian pula hal ini tidak dapat dihindari untuk mengkonstniksi pengetahuan fisik dan pengetahuan logiko-matematik. Menuru Piaget, para peserta didik hendaknya dianjurkan untuk mempunyai pendapat sendiri (walaupun pendapat itu mungkin “Salah”), mengemukakannya, mempertahankannya, dan merasa bertanggung jawab atasnya. Ungkapnya keyakinan secara jujur, akhirnya memupuk ekuilibrasi konstruksif dan membuta para peserta didik lebih cerdas dan lebih termotivasi untuk terus belajar, dibandingkan dengan belajar jawaban “Benar”.
Adakalaya guru dapat menganjurkan para peserta didik untuk membandingkan berbagai gagasan. Pada kesempatan lain guru membentuk kelompok-kelompok kecil untuk memecahkan masalah tertentu. Cara ketiga untuk membangkitkan interaksi ialah dengan meminta seluruh kelas membandingkan berbagai masalah, pengamatan, dan interpretasi.
6)      Hindari Istilah Teknis dan Tekankan Berpikir
Hasil penelitian mengungkapkan, bahwa bahasa dapat memperjelas dan memperkaya gagasan-gagasan bila para peserta didik sudah pada tingkat perkembangan yang tinggi. Tetapi, kerap kali kata-kata dan istilah-istilah teknis merintangi berpikir oleh karena itu guru hendaknya dapat mengembangkan gagasan-gagasan untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir peserta didik. Adakalayan peserta didik membandingkan hal-hal dengan cara mereka sendiri. Sebagian dari intuisi-intuisi mereka itu ada yang salah, dan sebagian ada yang betul, dan gagasan-gagasan ini harus ditelusuri dan dikoordinasikan agar para peserta didik menjadi pemikir-pemikir yang diharapkan.

7)      Memperkenalkan Kembali (Reintroduce) Materi Kegiatan
Peserta didik yang sama bila melihat atau benda lain apapun juga atau peristiwa, tidak akan melihat kenyataan yang sama pada umur 6, 10 dan 14 tahun. Alasannya ialah, karena peserta didik yang lebih tua mengasimilasikan benda kedalam pengetahuan terstruktur yang lebih baik daripada peserta didik yang lebih muda. Jadi, pengurutan ketat dari isi tidak perlu, menurut Piaget. Kecuali itu, penelitian Piaget menunjukkan bahwa waktu peserta didik memperoleh pengetahuan cara-cara yang amat berbeda dari cara orang dewasa.
Pernyataan bahwa urutan ketat tidak perlu, tidak berarti bahwa semua urutan harus dihindari. Misalnya, pelajaran “kapal tanah liat” diharuskan untuk kelas 2 hingga kelas 6. Dalam jangka umur yang panjang ini, guru diberitahukan bahwa bagi peserta didik yang lebih muda masalahnya ialah membuat benda yang akan terapung. Sebaliknya, untuk peserta didik-peserta didik yang lebih tua masalahnya ialah menemukan mengapa bentuk tertentu dapat memuat lebih benda daripada benda yang lain, dan apa yang membuat suatu benda itu tenggelam atau terapung.
Suatu urutan yang lain ditunjukkan oleh dua sasaran berikut, disarankan sesudah para peserta didik dapat membuat kapal tanah liatnya terapung: (1) Guru dapat menanyakan para peserta didik apakah mereka mempunyai benda kecil dan menyarankan agar peserta didik tersebut merumuskan berapa jumlah benda yang dapat dimuat oleh kapalnya. Dalam setiap saran diatas guru telah membawa “Terapung dan tenggelam” ketingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya, dan yang penting ialah guru tidak memaksakan gagasan-gagasan ini.
Jika saran yang tepat dibuat pada waktu yang tepat, maka hal ini akan membawa peserta didik ke pertanyaan-pertanyaan tingkat tinggi, seperti pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Apakah kapal yang sama akan selalu memuat jumlah yang sama, benda-benda yang menyebabkan tenggelam?, (2) Haruskah benda-benda itu ditempatkan pada posisi yang sama?, (3) Apakah yang terjadi bila air masuk kedalam kapal?, dan (4) Apa yang terjadi, bila benda-benda itu dilemparkan kedalam kapal?, (Wilis Dahar, 1996:160-162). Dapat dilihat bahwa ada suatu derajat interaksi yang tinggi antara pengurutan yang dilakukan guru dan pengurutan yang dilakukan peserta didik.
Seni mengajar terletak pda bagaimana memikirkan saat yang tepat, kapan akan mengajukan suatu pertanyaan yang baik, yang akan memberikan stimulasi pada peserta didik untuk pindah ketingkat berpikir yang lebih tinggi, dan akan menahan diri untuk tidak mengajukan pertanyaan. Jadi dalam bentuk pengajaran klasikal menurut Rooijakkers (2003:73) pada intinya pengajar melakukan berbagai kegiatan seperti berbicara, menjelaskan, menulis, memikirkan, membenahi diri, dan sebagainya dalam pembelajaran model Klasikal. Kegiatan model Klasikal ini pengajar memberi tahu, mengadakan evaluasi untuk mengukur sampai dimana para peserta didiknya dapat menguasai materi pelajaran yang sudah disampaikan.
8)      Penggunaan Model Pembelajaran Konstruktivisme
Penggunaan model pembelajaran Konstruktivisme perlu dikatakan sejak awal, sebelum guru melakukan kegiatan pembelajaran di kelas. Model pembelajaran ini digunakan sejak guru atau perancang merancang kegiatan pembelajaran dalam bentuk satuan pelajaran misalnya. Satuan pelajaran sebagai pegangan (Pedoman) guru kelas dan Satuan Pelajaran sebagai bahan/materi bagi peserta didik. Satuan Pelajaran sebagai pegangan bagi guru disusun sedemikian rupa, sehingga satuan pelajaran tersebut sudah mengandung komponen-komponen konstruktivisme. Artinya, dalam satuan pelajaran itu sudah tergambarkan usaha/kegiatan yang akan dilakukan untuk menanamkan rasa percaya diri pada peserta didik, melakukan evaluasi dan menumbuhkan rasa dihargai/bangga pada peserta didik. Guru atau pengembang sudah merancang urutan semua kegiatan yang akan dilakukan, strategi atau metode pembelajaran yang akan digunakan, media pembelajaran apa yang akan dipakai, perlengkapan apa yang dibutuhkan, dan bagaimana cara penilaian akan dilaksanakan. Meskipun demikian pelaksanaan kegiatan disesuaikan dengan situasi, kondisi dan lingkungan peserta didik. Demikian juga halnya dengan satuan pelajaran sebagai bahan/materi untuk peserta didik. Bahan/materi tersebut harus disusun berdasarkan model pembelajaran Konstruktivisme. Bahasa, kosa kata kalimat, gambar atau ilustrasi, pada bahan/materi dapat menumbuhkan rasa percaya diri pada peserta didik, bahwa mereka mampu, dan apa yang dipelajari ada relevensi dengan kehidupan mereka. Bentuk, susunan dan isi bahan atau materi dapat membangkitkan minat/perhatian peserta didik, memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengadakan evaluasi diri dan peserta didik merasa dihargai yang dapat menimbulkan rasa bangga pada mereka. Guru dan pengembang agar menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti, kata-kata yang jelas dan kalimat yang sederhana tidak berbelit-belit sehingga maksudnya dapat dengan mudah ditangkap dan dicerna peserta didik. Bahan/materi agar dilengkapi dengan gambar yang jelas dan menarik dalam jumlah yang cukup. Gambar dapat menimbulkan berbagai macam khayalan/fantasi dan dapat membantu peserta didik lebih mudah memahami bahan/materi yang sedang dipelajari.
Peserta didik dapat membayangkan/mengkhayalkan apa saja, bahkan dapat membayangkan dirinya sebagai apa saja (Mcclelland, 1987:29). Bahan atau materi disusun sesuai urutan dan tahap kesukarannya perlu dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan keingintahuan dan memungkinkan peserta didik dapat mengadakan evaluasi sendiri