Prinsip yang paling umum dan paling esensial yang
dapat diturunkan dari konstruktivisme, ialah bahwa anak-anak memperoleh banyak
pengetahuan di luar sekolah, dan pendidikan seharusnya memperhatikan hal itu
dan melaksanakan proses alamiah ini. Untuk dapat melaksanakan proses
pembelajaran semacam ini, dibawah ini disarankan beberapa prinsip mengajarkan
sains di sekolah dasar (Kamii, 1979). Untuk tingkat sekolah yang lebih tinggi,
akan diberikan pula suatu strategi mengajar yang akan dibahas dibagian lain.
Model Konstruktivisme yang dikemukakan Piaget ini memberi arahan kepada guru
untuk membangkitkan kemampuan berpikir anak dalam belajar, adapun
prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan menurut Piaget adalah hal-hal berikut
ini.
1)
Menyiapkan Benda-benda
Nyata untuk Digunakan Peserta didik
Ada dua alasan
bagi prinsip ini, yaitu pengetahuan fisik diperoleh dengan berbuat pada
benda-benda, dan melihat bagaimana benda-benda itu bereaksi. Misalnya, untuk
mengetahui apakah sebuah bola yang dibuat dari tanah liat dapat terapung dalam
tanah, anak itu harus berbuat sesuatu pada benda-benda itu dan memperoleh
jawaban dari benda-benda itu. Sambil ia mengubah-ubah perbuatan atau
tindakannya, ia menghubungkan perubahan-perubahan dalam perbuatannya dan
perubahan-perubahan dalam reaksi benda-benda itu. Bukan hanya mengetahui fisik
yang dikembangkannya, melainkan juga pengetahuan logiko-matematik. Alasan yang
kedua para peserta didik harus bekerja dengan benda-benda ialah, bahwa inilah
satu-satunya cara mereka dapat menglogika-Matematika kenyataan. Buka dengan
cara belajar kata-kata, para peserta didik menjadi lebih baik berpikir mengenai
alam nyata.
2)
Memperbaiki Empat Cara
Berbuat Terhadap Benda Benda
Ada
empat cara berbuat terhadap benda-benda yaitu: (1) berbuat terhadap benda-benda
dan melihat bagaimana benda-benda itu beraksi, (2) berbuat terhadap benda-benda
untuk menghasilkan suatu efek yang diinginkan, (3) menjadi sadar bagaimana
seorang menghasilkan efek yang diinginkan, dan (4) menjelaskan. Mengenai
pendekatan ketiga Piaget menemukan, bahwa disekitar umur 4 atau 5 tahun,
anak-anak dapat melakukan banyak hal pada tingkat inteligensi praktis, tetapi
mereka tidak menyadari bagaimana menghasilkan sesuatu yang diinginkan itu. Cara
yang keempat dapat berupa penjelasan langsung dari suatu peristiwa, atau berupa
menguji suatu hipotesis secara sistematis. Bila dipusatkan hanya untuk pada
penjelasan-penjelasan, adanya bahaya karena kerap kali timbul verbalisme.
Bila
digunakan dua pendekatan yang pertama, para peserta didik dapat diminta
menjelaskan apa yang menyebabkan mereka berpikir. Dalam pelajaran “Terapung,
melayang, dan tenggela”, misalnya waktu mereka disuruh membuat “Kapal-kapal
dari tanah liat”, guru menggunakan pendekatan kedua, bila ia meminta para
peserta didik untuk membuat kapal tanah liat yang dapat terapung dalam air.
Kemudian, bila guru bertanya apa yang akan terjadi bila peserta didik
menempatkan benda-benda dalam kapal tanah liat itu, maka guru menggunakan
pendekatan yang pertama. Kedua pendekatan ini dan juga pendekatan yang ketiga,
mengandung unsur penjelasan dan pada umumnya lebih baik dari pada gambar
menjelaskan, yang bagaimanapun juga sulit bagi
para peserta didik dalam periode-periode konkret. Pendekatan yang
ketiga, yaitu menjadi sadar bagaimana seseorang menghasilkan efek yang
diinginkan, dapat digunakan bila guru menganjurkan peserta didik untuk bertanya
pada peserta didik yang lain bagaimana ia menyelesaikan tugasnya. Ini merupakan
suatu contoh situasi yang secara eduktif, baik bagi peserta didik yang
mengajarkan dan bagi peserta didik yang diajari.
3) Memperkenalkan
Kegiatan
Kegiatan-kegiatan
itu mungkin menarik bagi para peserta didik, tetapi jangan dipaksakan pada
mereka. Para peserta didik hendaknya mempunyai kebebasan untuk mengikuti
perhatian mereka sendiri, oleh keran pikiran itu hanya akan dapat berkembang
bila peserta didik itu terlihat, berilah para peserta didik kebebasan untuk
menolak saran-saran guru.
Karena
itu menurut Susan Isscans (1946) kerangka ini merupakan koreksi terhadap ide
bahwa seorang peserta didik akan pernah belajar jika ia tidak dibentak atau
dipukul, juga bagi gagasan bahwa peserta didik tidak membutuhkan belajar, namun
hanya perlu menunjukkan kebaikannya. Kegiatan utama pembelajaran menurut Susan
Isscans adalah
memberikan suatu kerangka kerja yang kokoh untuk kegiatan pembelajara, karena
perkembangan intelektual peserta didik berhubungan erat dengan perkembangan
emosional. Oleh karena itu kebebasan diruang kelas akan menghilangkan hambatan
proses belajar atau distorsi perkembangan watak dari peserta didik.
4) Menciptakan
Pertanyaan, Masalah-masalah dan Pemecahannya
Dewasa
ini para pendidik kerap kali menganjurkan “Pemecah masalah” tetapi jarang kita
dengar tentang pentingnya penciptaan masalah-masalah dan pengajuan
pertanyaan-pertanyaan. Selain para peserta didik mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan atau memecahkan masalah-masalah mereka, mereka juga
termotivasi untuk bekerja keras. Menurut Piaget, perumusan pertanyaan-pertanyaan
merupakan salah satu dari bagian-bagian yang paling penting dan paling kreatif
dari sains yang diabaikan dalam pendidikan sains.
5) Peserta
didik Saling Berinteraksi
Menurut
Piaget, pertukaran gagasan-gagasan tidak dapat dihindari untuk perkembangan
penalaran. Walaupun penalaran tidak dapat dijadikan secara langsung,
perkembangannya dapat distimulasi oleh konfrontasi kritis, khususnya dengan
teman-teman setingkat. Seperti halnya perbedaan pendapat itu esensial untuk
konstniksi sains, demikian pula hal ini tidak dapat dihindari untuk
mengkonstniksi pengetahuan fisik dan pengetahuan logiko-matematik. Menuru
Piaget, para peserta didik hendaknya dianjurkan untuk mempunyai pendapat
sendiri (walaupun pendapat itu mungkin “Salah”), mengemukakannya,
mempertahankannya, dan merasa bertanggung jawab atasnya. Ungkapnya keyakinan
secara jujur, akhirnya memupuk ekuilibrasi konstruksif dan membuta para peserta
didik lebih cerdas dan lebih termotivasi untuk terus belajar, dibandingkan
dengan belajar jawaban “Benar”.
Adakalaya
guru dapat menganjurkan para peserta didik untuk membandingkan berbagai
gagasan. Pada kesempatan lain guru membentuk kelompok-kelompok kecil untuk
memecahkan masalah tertentu. Cara ketiga untuk membangkitkan interaksi ialah
dengan meminta seluruh kelas membandingkan berbagai masalah, pengamatan, dan
interpretasi.
6) Hindari
Istilah Teknis dan Tekankan Berpikir
Hasil
penelitian mengungkapkan, bahwa bahasa dapat memperjelas dan memperkaya
gagasan-gagasan bila para peserta didik sudah pada tingkat perkembangan yang
tinggi. Tetapi, kerap kali kata-kata dan istilah-istilah teknis merintangi
berpikir oleh karena itu guru hendaknya dapat mengembangkan gagasan-gagasan
untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir peserta didik. Adakalayan
peserta didik membandingkan hal-hal dengan cara mereka sendiri. Sebagian dari
intuisi-intuisi mereka itu ada yang salah, dan sebagian ada yang betul, dan
gagasan-gagasan ini harus ditelusuri dan dikoordinasikan agar para peserta
didik menjadi pemikir-pemikir yang diharapkan.
7) Memperkenalkan
Kembali (Reintroduce) Materi Kegiatan
Peserta
didik yang sama bila melihat atau benda lain apapun juga atau peristiwa, tidak
akan melihat kenyataan yang sama pada umur 6, 10 dan 14 tahun. Alasannya ialah,
karena peserta didik yang lebih tua mengasimilasikan benda kedalam pengetahuan
terstruktur yang lebih baik daripada peserta didik yang lebih muda. Jadi,
pengurutan ketat dari isi tidak perlu, menurut Piaget. Kecuali itu, penelitian
Piaget menunjukkan bahwa waktu peserta didik memperoleh pengetahuan cara-cara
yang amat berbeda dari cara orang dewasa.
Pernyataan
bahwa urutan ketat tidak perlu, tidak berarti bahwa semua urutan harus
dihindari. Misalnya, pelajaran “kapal tanah liat” diharuskan untuk kelas 2 hingga kelas 6. Dalam jangka
umur yang panjang ini, guru diberitahukan bahwa bagi peserta didik yang lebih
muda masalahnya ialah membuat benda yang akan terapung. Sebaliknya, untuk
peserta didik-peserta didik yang lebih tua masalahnya ialah menemukan mengapa
bentuk tertentu dapat memuat lebih benda daripada benda yang lain, dan apa yang
membuat suatu benda itu tenggelam atau terapung.
Suatu
urutan yang lain ditunjukkan oleh dua sasaran berikut, disarankan sesudah para
peserta didik dapat membuat kapal tanah liatnya terapung: (1) Guru dapat
menanyakan para peserta didik apakah mereka mempunyai benda kecil dan
menyarankan agar peserta didik tersebut merumuskan berapa jumlah benda yang
dapat dimuat oleh kapalnya. Dalam setiap saran diatas guru telah membawa “Terapung
dan tenggelam” ketingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya, dan yang
penting ialah guru tidak memaksakan gagasan-gagasan ini.
Jika
saran yang tepat dibuat pada waktu yang tepat, maka hal ini akan membawa
peserta didik ke pertanyaan-pertanyaan tingkat tinggi, seperti pertanyaan-pertanyaan
berikut: (1) Apakah kapal yang sama akan selalu memuat jumlah yang sama,
benda-benda yang menyebabkan tenggelam?, (2) Haruskah benda-benda itu
ditempatkan pada posisi yang sama?, (3) Apakah yang terjadi bila air masuk
kedalam kapal?, dan (4) Apa yang terjadi, bila benda-benda itu dilemparkan
kedalam kapal?, (Wilis Dahar, 1996:160-162). Dapat dilihat bahwa ada suatu
derajat interaksi yang tinggi antara pengurutan yang dilakukan guru dan
pengurutan yang dilakukan peserta didik.
Seni
mengajar terletak pda bagaimana memikirkan saat yang tepat, kapan akan
mengajukan suatu pertanyaan yang baik, yang akan memberikan stimulasi pada
peserta didik untuk pindah ketingkat berpikir yang lebih tinggi, dan akan
menahan diri untuk tidak mengajukan pertanyaan. Jadi dalam bentuk pengajaran
klasikal menurut Rooijakkers (2003:73) pada intinya pengajar melakukan berbagai
kegiatan seperti berbicara, menjelaskan, menulis, memikirkan, membenahi diri, dan
sebagainya dalam pembelajaran model Klasikal. Kegiatan model Klasikal ini
pengajar memberi tahu, mengadakan evaluasi untuk mengukur sampai dimana para
peserta didiknya dapat menguasai materi pelajaran yang sudah disampaikan.
8) Penggunaan
Model Pembelajaran Konstruktivisme
Penggunaan
model pembelajaran Konstruktivisme perlu dikatakan sejak awal, sebelum guru
melakukan kegiatan pembelajaran di kelas. Model pembelajaran ini digunakan
sejak guru atau perancang merancang kegiatan pembelajaran dalam bentuk satuan
pelajaran misalnya. Satuan pelajaran sebagai pegangan (Pedoman) guru kelas dan Satuan
Pelajaran sebagai bahan/materi bagi peserta didik. Satuan Pelajaran sebagai
pegangan bagi guru disusun sedemikian rupa, sehingga satuan pelajaran tersebut
sudah mengandung komponen-komponen konstruktivisme. Artinya, dalam satuan pelajaran
itu sudah tergambarkan usaha/kegiatan yang akan dilakukan untuk menanamkan rasa
percaya diri pada peserta didik, melakukan evaluasi dan menumbuhkan rasa
dihargai/bangga pada peserta didik. Guru atau pengembang sudah merancang urutan
semua kegiatan yang akan dilakukan, strategi atau metode pembelajaran yang akan
digunakan, media pembelajaran apa yang akan dipakai, perlengkapan apa yang
dibutuhkan, dan bagaimana cara penilaian akan dilaksanakan. Meskipun demikian
pelaksanaan kegiatan disesuaikan dengan situasi, kondisi dan lingkungan peserta
didik. Demikian juga halnya dengan satuan pelajaran sebagai bahan/materi untuk
peserta didik. Bahan/materi tersebut harus disusun berdasarkan model
pembelajaran Konstruktivisme. Bahasa, kosa kata kalimat, gambar atau ilustrasi,
pada bahan/materi dapat menumbuhkan rasa percaya diri pada peserta didik, bahwa
mereka mampu, dan apa yang dipelajari ada relevensi dengan kehidupan mereka. Bentuk,
susunan dan isi bahan atau materi
dapat membangkitkan minat/perhatian peserta didik, memberi kesempatan kepada
peserta didik untuk mengadakan evaluasi diri dan peserta didik merasa dihargai
yang dapat menimbulkan rasa bangga pada mereka. Guru dan pengembang agar
menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti, kata-kata yang jelas dan
kalimat yang sederhana tidak berbelit-belit sehingga maksudnya dapat dengan
mudah ditangkap dan dicerna peserta didik. Bahan/materi agar dilengkapi dengan
gambar yang jelas dan menarik dalam jumlah yang cukup. Gambar dapat menimbulkan
berbagai macam khayalan/fantasi dan dapat membantu peserta didik lebih mudah
memahami bahan/materi yang sedang dipelajari.
Peserta didik dapat membayangkan/mengkhayalkan apa
saja, bahkan dapat membayangkan dirinya sebagai apa saja (Mcclelland, 1987:29).
Bahan atau materi disusun sesuai urutan dan tahap kesukarannya perlu dibuat
sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan keingintahuan dan memungkinkan
peserta didik dapat mengadakan evaluasi sendiri